Kamis, 26 Februari 2015

Mukul pake Bunga

 Baru baca pesan pendek seorang teman lelaki melalui WA Grup,
"Sayang yg nyetir cewek sih. Kalo cowok, udah gue lempar helm"
Entah ini penghargaan untuk perempuan atau penghinaan karena kami ini dianggap cemen. Tapi itu hal lain. Ada yang lebih asoy buat dibahas.

Dari kalimat di atas, sebetulnya yang kasian ya para lelaki. Ga ada ampun deh, buat mereka. Kalo kelakuannya menyulut emosi, akan sangat dimaklumi untuk dipukuli.

Kenapa gitu coba? Soalnya dari kecil udah diajarin,  jadi cowok ga boleh cengeng, harus kuat, dan berani.
Adu fisik itu boleh banget untuk membela diri.
Kalo diem aja saat ditantang berantem, nanti bisa keliatan lemah, dan langsung dibilang "Dasar banci lo!"
Duileeeee... yakin paham arti kata banci?

Tapi, inget ya, hal itu hanya berlaku jika lawannya laki-laki juga.
Kalau ributnya sama perempuan, duh, selesai hidup lo, baaaang.

Coba bandingin deh, gimana reaksi orang pada saat lelaki memperlakukan perempuan dengan kasar. Pasti langsung dihujat oleh orang banyak.
Dan ada aja yang komennya begini,
"Situ laki apa bukan sih, beraninya sama perempuan"
(Kalimat yang sungguh ngga banget. Kenapa jadi nanya jenis kelamin? Kurang laki apa coba kalo udah pasti punya penis? Dan satu lagi, kalimat ini sangat meremehkan perempuan)

Tetapi kalau lelaki yang diperlakukan seenaknya oleh perempuan?
Ada yang belain? Dikit kayaknya, sih.
Mungkin malah jadi becandaan orang-orang.

Di sinilah kadang saya merasa harus "puk puk" kaum lelaki.
Mereka pasti juga lelah harus selalu keliatan 'laki banget', yang secara merata diamini definisinya oleh orang-orang, sebagai mahluk yang sangar dan kuat (dari pada perempuan) sepanjang waktu.
Betapa sebetulnya patriarki itu juga tidak melulu menguntungkan buat laki-laki.

Karena sesungguhnya semua orang, lelaki atau perempuan, berhak untuk tidak kuat, tidak sangar, tidak bisa berantem.  
Dan juga berhak untuk tidak "dipukul" walaupun mukulnya juga pake bunga.

#equalrights #feminism

Minggu, 15 Juli 2012

Kirab Gotong Toapekong 15 Juli 2012


Rasa menyesal tidak bisa melihat (dan memotret) perayaan Imlek di bulan Mei 2012 yang lalu, hilang sudah. Terima kasih bertubi-tubi untuk Ci Winda yang telah menawarkan untuk meliput acara Kirab Gotong Toapekong di Vihara Toasebio.

Acara ini sebetulnya adalah perayaan ulang tahun bagi dewa di vihara Toasebio, yaitu Dewa Langit Cheng Guan Chen Ko yang ke 258. 
Anjing Langit - Toapekong Toasebio

Yang lagi ultah : Cheng Guan Cheng Kun - Toapekong Toasebio

Untuk merayakannya, diadakan Kirab Gotong Toapekong yang diikuti juga oleh 30 joli (tandu) dari vihara lainnya di Jakarta, barongsai dari sukabumi, tanjidor dari cijantung dan juga ondel-ondel.
Tradisi gotong toapekong atau mengarak dewa dan dewi ini bertujuan untuk berterima kasih kepada para dewa dan dewi yang selalu memberikan keberkahan dan kemakmuran.

Awalnya, saya hanya sekedar ingin menambah pelajaran memotret dengan mencari obyek baru yang seru. Selama ini saya dan kenny (panggilan mesra si dlsr) belum pernah merekam gambar  acara budaya. Saya pikir, acara ini pasti akan menyenangkan untuk difoto.

Tanggal 15 Juli 2012, dengan seorang teman yang baik hati  dan bersedia diajak berpanas-panasan, saya berangkat menuju lokasi. Tidak sulit mencari Vihara Toasebio yang terletak di Jalan Kemenangan III no. 48, Jakarta Barat. Terlebih Ci Winda sudah menjelaskannya dengan detil. Kami dengan mudah mencapai tempat yang dituju tepat pukul 12.30.

Sebetulnya acara kirab tersebut baru akan dilaksanakan pukul 15.00. Namun, si cici sudah mewanti-wanti harus datang 12.00 – 13.00 supaya tidak penuh dan dapat posisi cihuy.

Kembali lagi saya bersyukur dan berterima kasih kepada si cici. Karena betul saja, saat saya datang, meskipun sudah ramai, namun saya masih dapat leluasa berkeliling melihat-lihat joli (tandu) dengan leluasa. Memotret pun bisa dilakukan dengan suka-suka tanpa rebutan dengan fotografer lain yang lensanya jauh lebih canggih dari milik saya, si tamara sang sapu jagat, sahabat kenny.




Saat saya berkeliling, saya baru menyadari bahwa pembauran sangat terasa sekali. Meskipun acara ini adalah untuk perayaan yang beragama Buddha, di mana lebih banyak keturunan Cina, namun terlihat dengan jelas, banyak sekali orang-orang yang bukan keturunan ikut berpartisipasi. Selain menyumbang acara kirab, mereka pun bersama-sama menjadi bagian dari panitia untuk menjaga keamanan dan ketertiban acara.




Tepat pukul 14.30 acara pun dibuka dengan kata sambutan dari ketua yayasan klenteng, wakil DPR, wakil ormas dll. Saya, lagi-lagi beruntung bisa dapet posisi di depan. Walopun kadang-kadang harus pura-pura jadi patung, supaya tidak terdorong oleh warga lain yang naksir berat sama posisi saya.
Setelah acara sambutan selesai, acara arak-arakan pun dimulai. Sebelumnya, kita semua beramai-ramai menyanyikan lagu Indonesia Raya, yang membuat beberapa orang-orang tua menitikkan air mata. Dan saya pun merinding dalam khidmat.

Jam 15.00 Kirab Gotong Toapekong dimulai. Ci Winda yang kebagian membawa bendera merah putih dan burung garuda, terlihat paling depan. Puas deh difotoin terus ya ci. Ahahak.

Dilanjutkan dengan joli-joli lain, arak-arakan ditutup dengan ondel-ondel dan rombongan pemain rebana yang berangkat meninggalkan vihara pada pukul 16.30















Puas dapet posisi cihuy yang mendukung saya untuk memotret, kami memutuskan untuk pulang dan tidak mengikuti kirab yang berjalan dengan rute jalan Toko Tiga -Pintu Kecil-Kali Besar barat-Kali Besar Timur-Jl. Kemukus – Jl. Lada – Jl.Pintu Besar – Jl.Hayam Wuruk – Jl.Gajah Mada dan kembali  lagi.

Haus, pegal dan kepanasan baru terasa. Namun saya sangat senang. Gembira menyaksikan acara yang baru sekali seumur hidup saya saksikan. Terlebih gembira dan terharu menyaksikan pembauran antar agama dan etnis yang begitu memukau. Siapa bilang kita saling membenci karena perbedaan? Kita menyatu dengan indah karena perbedaan ini membuat kita sempurna. Ya kan?

Sekali lagi, terima kasih ya Ci Winda dan temanku yang baik hati, yang menolak disebut namanya di sini karena sangat pemalu. Ahahak.

Selasa, 12 Juli 2011

Put the Rainbow Flag in the Sky


Gara-gara pertemuan kemarin dengan teman-teman lama yang membahas tentang LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual  and Transgender), saya jadi teringat waktu beberapa teman mengaku akan perbedaan orientasi seksualnya.

Pertama kali mendengar pengakuan seorang sahabat bahwa dia adalah seorang lesbian, terjadi sekitar 11 tahun yang lalu. Saya sebetulnya sudah menebak itu. Hanya saya menunggu sampai dia yang mengungkapkannya pada saya. Bukan apa-apa, saya ngga bisa menyusun kalimat yang baik untuk menanyakan padanya.
Suatu sore  di sebuah mall, kami sedang berjalan bersisian. Tiba-tiba sahabat saya itu berbisik,  
Nin, gue mau bilang. I’m a lesbian
Saya agak kaget. Bukan karena isi kalimatnya. Tapi suasananya itu loh. Emang ga bisa ya kalo nanti aja pas kita lagi ngopi, atau tadi waktu saya jemput di kontrakannya sebelum ke sini? Tapi dengan cuek saya jawab,
Gue dah tau kok”. Gantian dia yang kaget.
Tau dari mana?” , tanyanya. Saya dorong kepalanya pelan. Dengan meniru gaya ABG tapi gagal, saya membalas,
Oh, peliiiiisssss
Lalu kami tertawa bersama. Setelah itu mengalirlah dari mulutnya semua cerita yang sudah lama ditahannya kepada saya -nah yang ini baru deh- di sebuah warung kopi seberang kontrakannya.

Sejak saya dikenalkan dengan komunitas lesbiannya, entah mengapa, gaydar saya menajam dengan pesat. Saya mampu membedakan mana yang butch, mana yang femme, bahkan sebelum teman saya itu mengetahuinya.
Dua orang teman gay  saya malah come out pertama kali dengan saya. Yah, they were still virgin at that time ;)

Bertahun-tahun sebelum sahabat saya mengakui tentang kesukaannya pada sesama jenis, saya memang sudah sering merenungkan mengenai hal tersebut.
Sewaktu saya kuliah, saya pernah mengungkapkan kepada sahabat saya yang lain mengenai  hubungan pertemanan kami,
Hey, mungkin kalau elo laki-laki, kita udah pacaran ya
Dia tertawa. Maksud saya padahal, kalau pacaran sesama jenis tidak tabu, kita sudah pacaran dari, entah kapan. Tapi saya malas menjelaskan lebih rinci. Nanti malah membuatnya takut.

Tapi hal tersebut tidak pernah hilang dalam pikiran saya. Bukan soal teman saya itu, melainkan lebih kepada konsep hubungan sesama jenis.
Saya cuma bertanya-tanya,  bagaimana kita mampu menolak tumbuhnya rasa cinta? Bukankah kebiasaan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari akan mampu menumbuhkan rasa memiliki, rasa sayang, atau rasa cinta itu?
Saya juga percaya, bahwa ketertarikan seksual itu bisa diawali karena cinta yang tumbuh diantaranya. Buktinya, saya suka heran, kok bisa saya membayangkan berciuman dengan kakak kelas yang  sangat saya cintai, padahal secara fisik ngga bisa dibilang ganteng?

Saya seorang hetero. Yang menyukai lain jenis. Yang tertarik secara fisik pada laki-laki.
Namun, saya sungguh memahami orang yang memiliki orientasi seksual berbeda dengan saya.
Jauh sebelum seseorang mengakui perbedaan pilihannya terhadap ketertarikan fisik sesama jenis kepada saya.
Karena saya percaya, cinta itu adalah anugrah, apa pun bentuknya.
Saya percaya, kebahagiaan dan kenyamanan diri itu adalah hak asasi manusia.
Siapa kita yang berani menghakimi apa yang membuat orang lain bahagia?

Seorang teman bertanya dengan nada mengejek,
Bagaimana kalau suatu hari, anak lo bilang kalo dia lesbian?
Saya jawab,
Pasti berat
Teman saya itu tertawa. Lalu saya melanjutkan,
Karena gue ga akan tega melihat anak gue dihujat banyak orang. Tapi lebih ga rela lagi kalo ngeliat anak gue harus membohongi dirinya sendiri . Gue mungkin akan bilang hal yang membesarkan hatinya, seperti –kasih sayang seorang ibu pasti akan mampu menghapuskan sakit hati akibat dihujat oleh berjuta-juta orang di dunia- begitu. Jadi gue akan dukung dia

Teman saya tidak percaya. Saya bilang, terserah.
Dan kami mengalihkan pembicaraan dengan saling mengamati daftar menu makan siang.

Saya tidak akan memaksakan apa yang saya yakini kepada anda, dan saya harap anda juga begitu.

pinjem gambar : http://www.flickr.com/photos/23912576@N05/2942525739

Jogja* 7 - 8 Juli 2011 (part 2)

Kamis, 7 Juli 2011 Becak, Becak Coba Bawa Saya

Memasuki hari ke-3 di Jogja, kami merasa agak lebih santai. Karena, tidak seperti kemarin yang janjian dengan Pak Supir dan mobil sewaan, kami tidak punya janji dengan siapapun. Namun, seperti biasa, saya bangun pukul 6 lebih sedikit. Reia, yang masih pulas tidur saya bangunkan pelan-pelan. Untung dia ngga dalam keadaan bad mood jadi mau bangun dengan ceria.

Seperti juga pagi sebelumnya, kami duduk manis untuk sarapan jam 7.30 masih dengan menu yang sama. Reia dengan bubur ayamnya, saya dengan tumis kentang plus sayuran. Setelah menandaskan semuanya, saya dan Reia mencoba bernegosiasi dengan para bapak yang memiliki becak, yang memarkir persis di depan hotel. Mereka memang bekerja sama dengan hotel tempat kami menginap, sehingga sudah ada tarif yang sepertinya ditulis oleh pihak hotel dalam sebuah papan yang menggantung di pohon besar depan pintu masuk :
Malioboro Rp 20.000
Keraton Rp 15.000
Keliling Jogja Rp 40.000

Cukup murah, kan? Akhirnya, setelah ngobrol-ngobrol dengan mereka, maka kami akan menyewa dua buah becak, yang akan membawa kami berkeliling, termasuk ke Kota Gede. Saya kepingin melihat-lihat kerajinan perak.

Jam 10 pagi, tujuan pertama adalah Keraton. Sambil berdoa dalam hati, semoga Reia tidak bosan, kami menyusuri jalan yang sangat ramai. 8 tahun yang lalu, terakhir kali saya ke ke kota ini, jalanan lebih dikuasai oleh becak. Kini motor dan mobil-lah yang menjadi raja.
Omong-omong, kami sempat melewati warung kecil dipinggir jalan yang cukup tertutup rapat (namun tulisan di depan pintu adalah "Buka") dengan papan kecil yang bertuliskan 'Tongseng Jamu'. Saya jadi teringat penjelasan yang diberikan oleh pak supir kemarin, bahwa itu adalah istilah umum yang digunakan untuk menyebut masakan dengan bumbu tongseng yang isinya daging anjing. Disebut jamu, karena konon rasa daging hewan yang malang tersebut sangat panas dan dapat menghangatkan tubuh seperti layaknya jamu. EUGH!

Tiba di keraton, nampaknya masih belum terlalu ramai pengunjung. Harga tiket masuk adalah Rp 5.000/org tanpa membedakan dewasa atau anak-anak. Ditambah seribu rupiah, sebab saya mau merekam gambar yang ada. Kali ini saya sedikit memaksa untuk menggunakan guide. Apa gunanya ke kraton tanpa mendapatkan penjelasan apa pun? Akhirnya, dengan ditemani oleh seorang bapak yang hampir sepuh yang menggunakan pakaian adat jawa, dan agak sedikit hemat dalam berkata-kata, dimulailah tur tersebut.


 Setiap hari kamis pukul 11.00 ada pertunjukan gamelan, namun tidak selalu dimainkan oleh anggota kraton

 Pohon besar di pintu gerbang Kraton

 Saya sangat mengagumi logo HB

 Menemani simbah yang sedang "Ngisis Wayang"
Pendopo depan pintu masuk yang digunakan untuk main musik dalam menyambut tamu pada suatu upacara

 Detil bunga di pendopo


Pukul 12.30, tur sudah selesai. Saya pun memberikan sedikit tips untuk si bapak. Kelamaan, menurut Reia. Kurang lama, bantah saya. Sebab, ternyata setelah dipancing sedikit,  si bapak mulai royal menjelaskan secara detil setiap pertanyaan yang saya lontarkan dengan bertubi-tubi. Saya pun menjadi kagum terhadap sepak terjang Sultan Hamengku Buwono IX setelah diceritakan oleh si bapak. Yang saya juga baru tahu, ternyata beliau tidak pernah menikah, namun memiliki 5 orang selir. Wauw. Pasti banyak laki-laki yang iri padanya. Apakah ada yang lebih menyenangkan bagi laki-laki dengan  memiliki 5 orang wanita cantik sekaligus tanpa ada ikatan pernikahan, dan tak ada satupun yang berani menghujat moralnya? ;)

Lalu kami mencari tempat untuk makan siang. Bapak penarik becak membawa kami ke daerah Wijilan untuk mencoba gudeg (ape loh?) di tempat milik H. Widodo. Entah lapar atau memang enak sekali, dengan menu yang itu-itu lagi, saya menandaskan dengan licin wadah yang terbuat dari anyaman bambu dan dilapisi daun pisang itu. Kali ini agak sedikit lebih mahal. Menu saya dihargai Rp 12.000. Bapak-bapak penarik becak pun kami beri amunisi yang enak tersebut.

Puas makan, kami melanjutkan perjalanan ke Kota Gede. Kemudian, becak saya berhenti di sebuah toko dengan nama "Borobudur". Toko itu cukup elit dan harga peraknya, yang paling murah adalah seharga 300 ribu rupiah untuk sebuah gelang. Karuan saja saya protes kepada si bapak. Karena merasa tidak enak hati, kami dibawa kembali ke sebuah toko di pinggir jalan, yang katanya juga menjual perak secara grosir. Ternyata di toko tersebut kebanyakan menjual batik dan pernak pernik khas Jogja. Saya menghela nafas. Namun, saya berhasil mendapatkan pembatas buku dengan bentuk wayang yang terbuat dari perak. Titipan salah seorang teman anggota GRI.

Kembali lagi saya minta diantarkan ke tempat pengrajin perak yang lain. Dan kembali lagi si bapak mengantarkan ke tempat yang jauh dari bayangan saya. Terhenyak sejenak, saya merasa pernah bertandang ke tempat itu. Yah, 20 tahun yang lalu, saya memang pernah ke sana. Membeli sebuah lukisan batik dengan ukuran paling kecil, seharga Rp10.000. Saya sedikit terhibur. Reia, yang memang senang sekali dengan batik, dengan antusias mengamati dari dekat tiga orang perempuan yang sedang membatik. Dia mulai banyak bertanya macam-macam, dan para ibu tersebut dengan sabar meladeni pertanyaan-pertanyaan yang cukup 'ajaib' bagi saya.





Setelah berkeliling melihat-lihat lukisan batik (harga  termurah 100 ribu rupiah!), saya segera memanggil Reia untuk kembali menaiki becak. Oh iya, Reia berhasil membujuk saya untuk merogoh kantong dan membelikan sebuah gaun batik cantik berwarna pink (he euh, teteup)

Dari sana saya kembali mewanti-wanti sang bapak, bahwa saya mau ke Pasar Beringharjo untuk membeli batik. Namun, sang bapak bersikeras mengantar kami ke tempat yang lain. Dan saya segera tersadar, bahwa mereka memiliki perjanjian dengan toko-toko tertentu. Setiap tamu yang dibawa dan membeli sesuatu dari toko tersebut, mereka akan mendapatkan komisi, yang entah berapa. Dulu, seorang bapak penarik becak pernah menceritakan hal tersebut kepada saya. Oleh sebab itu, saya pun menjadi maklum.

Hari sudah menjelang pukul 4 sore ketika kami tiba di pasar impian saya itu. Kami segera memborong beberapa batik yang cantik dan bisa didapatkan dengan harga miring. Sebagai gambaran, satu buah daster dengan motif pekalongan berwarna cerah, dijual hanya dengan 25 ribu rupiah saja. Kami semua berbelanja dengan kekalapan tingkat tinggi. Hanya dalam waktu 30 menit, kami berhasil memuaskan keinginan belanja batik. Lalu, kami berjalan sebentar menyusuri tepian jalan Malioboro yang penuh sesak dengan orang lalu lalang. Kemudian kami kembali menaiki becak untuk pulang.

Sepanjang jalan yang mengarah ke alun-alun dekat kantor pos, saya terkejut. Betapa penuh, ramai, dan tidak teratur sekali suasananya. Saya mendesah kecewa, Jogja yang saya kenal adalah kota yang tenang, damai, teratur, dan masih kental dengan kebudayaannya. Itulah yang membuat saya selalu ingin kembali. Namun, ternyata kini sudah berubah. Jogja pun tidak mau tertinggal dengan kemoderenan yang selalu berjalan dengan kecepatan tinggi.

Kali ini sampai di hotel masih puku 6 sore. Setelah membayar Rp 40.000 + 20.000/becak, kami leyeh-leyeh sebentar, kemudian memutuskan naik taksi untuk menuju tempat makan di dekat daerah Purawisata Yogyakarta.  Restoran Jimbaran, yang menghidangkan aneka makanan laut, memang memberikan nilai tersendiri. Kami memilih meja di pinggir sawah yang dikelilingi oleh temaram obor. Suara merdu rombongan penyanyi yang berkeliling dari meja ke meja, terkalahkan oleh paduan suara yang berasal dari para jangkrik. Lagi, mereka pun menyanyikan lagu "Yogyakarta" dari KLa Project. Saya dan Reia tertawa terbahak.

 Jimbaran, Reia dan Baju Batik Baru

Sepulang dari Jimbaran, kami minta diturunkan di Malioboro. Sebab Reia ingin sekali menumpang delman. Saya pun juga ingin membiasakan diri untuk menerima kenyataan dengan ramainya alun-alun dan kusutnya jalanan sekitar. Lagi-lagi Reia harus kecewa. Karena delman dilarang masuk ke jalan tempat di mana kami menginap. Akhirnya, pulanglah kami dengan menumpang becak lagi. Kali ini bagian atas penutuo becak dibuka, sehingga kami dapat menikmati angin malam yang menerpa wajah dan rambut kami. Sungguh, malam yang menyenangkan.

Tak terasa, ini adalah malam terakhir kami di Jogja. Ingin rasanya tidak tidur malam ini. Supaya bisa menikmati suasana Jogja lebih lama lagi.



Jumat, 8 Juli 2011 Waktunya kembali
Dengan malas, saya membuka mata dengan perlahan. Waktunya pulang. Saatnya kembali. Saya membereskan beberapa barang yang tercecer untuk dimasukkan ke dalam koper. Reia pun tampak tidak bersemangat. Setelah sarapan, kami memeriksa beberapa barang bawaan kami. Pukul 11 siang, kami check out dari hotel. Dengan menumpang taksi, kami menuju Bakpia 25 untuk mengambil pesanan sahabat-sahabat saya dan kemudian kembali menuju Gudeg Sagan untuk makan siang. Hahaha...

Ternyata, tempatnya masih tutup. Kemudian pak taksi berbaik hati menunjukkan kami ke tempat makan nasi pecel paling yang terkenal di Jogja. SGPC namanya. Singkatan dari Sego Pecel. Terletak tidak jauh dari UGM, tempat ini berdiri sejak tahun 1959, seperti yang tertulis di dinding depan rumah makan tersebut. Begitu sampai, saya langsung menyukai tempatnya. Mengingatkan pada dapur kuno oma saya di Sokaraja, Purwokerto. Dengan bangku kayu panjang, lantai dari batu gelap, kami menikmati nasi pecel yang sangat enak dan diiringi oleh akustikan yang, coba tebak apa lagu yang dibawakan? Tepat sekali. "Yogyakarta"-nya KLa Project. Ternyata, walaupun berhasil tidak makan gudeg, namun tetap saja tidak bisa menghindari sajian lagu tersebut. Saya dan Reia kembali terbahak.

Setibanya di Bandara Adi Sucipto pada pukul 13.00, kami melakukan check in dengan mulus (tanpa ada pemberitahuan dipindah pesawat) dan kemudian memilih duduk di sebuah kafe pojokan dengan pemandangan pesawat yang baru landing. Lalu, kami mulai berdoa. Iya, berharap tidak ada delay, atau dipindah pesawat, atau waktu terbang dibatalkan, atau entah alasan apa lagi yang harus membuat kami menunggu lebih lama.
Jadwal keberangkatan pesawat seharusnya pukul 14.00. Namun 20 menit sebelumnya tidak ada tanda-tanda pesawat kami tiba. Dengan cemas, kami kembali bertanya kepada petugas. Seperti yang sudah diperkirakan, jawaban dari petugas adalah : D E L A Y . Eits, ngga boleh marah. Tarik nafas panjang, pesan kopi lagi. Hyeuuuwwkkk...

Setelah mengantri untuk mendapatkan kompensasi dari keterlambatan yang berupa 1 buah roti isi selai kacang dan 1 gelas air mineral dari merek entah apa, kembali diumumkan bahwa pesawat akan diberangkatkan pukul 16.30 *menjerit* Kalau tau begini, saya masih bisa jalan-jalan dulu naik delman. Ugh!

Akhirnya sampai juga di Bandara Soekarno - Hatta, Cengkareng pada pukul 17.30 Keluar dari sana, matahari sudah menghilang. Dan kami pun kembali dihadapkan oleh kemacetan yang tiada tara.

Selamat tinggal, Jogja, Oase-ku yang baru.
Selamat datang, Jakarta, Panas-ku yang lama.


*)Sengaja saya menuliskan sesuai dengan pengucapan pada umumnya
All pics, again, was taken by me. Mwahaha.

Jogja* 5 - 6 Juli 2011 (part 1)

Yes, finally! Jogjaaaaa here we comeeee....

Selasa, 5 Juli 2011 Day 1 - Terdampar di Bandara, Berlabuh di Pantai
Berangkat jam 6 pagi (lagi) untuk mengejar pesawat jam 10 pagi. Saya rasa, ngga usah dikejar pun, kita udah pasti nyampe duluan. Mungkin pesawatnya juga masih dimandiin dulu.

Tiba di Bandara Soekarno - Hatta, Cengkareng, pukul 7 pagi. Sambil menunggu waktu check in yang masih  lamaaaaaaaaaaa banget, kami sarapan dan minum kopi yang harganya sangat tidak masuk akal.
Pukul 9, kami sudah antri di loket untuk melakukan check in. Begitu tiba giliran kami, petugas yang memeriksa tiket, tiba-tiba air mukanya berubah. Uh oh. Kaga resep nih romannye.
Yak, ternyata, perusahaan yang punya pesawat bernama (kalau di-bahasaendonesya-kan) Berbohong di Udara ini dengan suka-suka memindahkan kami ke jadwal terbang berikutnya, yaitu jam 12.35 Heibaaaattt.....
Alasannya, pesawat yang sudah kami booking, diganti menjadi yang lebih kecil, sehingga kapasitas tempat duduk menjadi berkurang, maka sebagian penumpang harus dipindahkan ke pesawat berikutnya. Karuan saja semua penumpang yang bernasib sama seperti kami langsung menjerit. Tapi, mau marah kayak apa pun, tetap saja kita ngga bisa maksa kembali ke jadwal semula.

Dengan kesal, kami kembali ke luar dari lokasi check in. Gila, harus nunggu 3 jam lagi. Mau ngapain sekarang? Yah paling gampang sih, makan lagi deh. huehehehe... Lalu, kami menuju ke waving gallery. Biar nona gundul ini ngga mati kebosanan. Dan lihat deh, ini kegiatan yang dilakukan untuk membunuh waktu :




Setelah membuang-buang waktu dan menghambur-hamburkan uang di minimarket, maka kami kembali masuk ke tempat menungu pesawat. Ternyata, kami boarding pukul 12.40 dan pesawat take off  pukul 13.40. Selamat datang di dunia maskapai Berbohong di Udara. Yey!

Selama 50 menit di udara, pada pukul 14.30 kami landing  di Bandara Adi Sucipto. Bersiap-siap menyongsong hari-hari menyenangkan di Jogja. Senangnyaaaa...

Sore hari sekitar pukul 17.00, setelah menyelesaikan urusan ini itu, dengan menggunakan mobil sewaan dari bandara yang cukup mahal (300 ribu / 6 jam termasuk bensin dan supir), kami menuju Pantai Depok. Saya, seperti biasa, nurut aja deh. Selama belum pernah, keingintahuan saya selalu mengalahkan ketakutan akan kecewa pada yang diharapkan. Dengan membayar 10 ribu/mobil, sampailah kami di Pantai Depok.

Ok, this beach is very, very beautiful. I really love it.

 Run, Reia, Run

 Unforgetable Beach

Take off our sandals to feel the sands

You will always be my Right
Setelah puas main di pantai, naik ATV (20 ribu/30 menit), yang kata teman saya ternyata itu ATV kecil, kami membersihkan diri di kamar mandi di area pantai yang cukup sederhana, kalau tidak mau dibilang jorok. Lalu sebelum pulang ke hotel, kami makan di Restoran Gudeg Sagan, di dekat Galeria Mall.  Diiringi band akustikan yang membawakan lagu 'Yogyakarta' dari KLa Project, saya menyantap dengan lahap, sepiring nasi panas, gudeg yang ngga terlalu manis, ditambah sebuah tahu yang disiram dengan kuah santan gurih, lalu santapan itu ditutup dengan segelas besar es teh pahit. Setelah mengetahui harga porsi makanan saya hanya diganjar 5.500 (boooo... ini resto, bukan warung loh) saya langsung memutuskan bahwa ini adalah gudeg ter-Cihuy yang pernah saya makan.
Tiba di kamar Hotel Amaris yang terletak di Jl. Diponegoro, saya cukup terkejut juga. Konsepnya memang minimalis, sampai lemari pakaian pun ngga tersedia. Begitu juga perlengkapan mandi yang tidak lengkap, seperti tidak adanya shower cap. Saya pun harus berjalan ke front office untuk memintanya, karena room boy tidak menjawab telepon saya. Satu lagi yang aneh, tidak tersedianya buku favorit saya kalau menginap di hotel : keterangan fasilitas dan menu makanan. Mungkin, mereka males masak buat tamu yang kadang-kadang suka order pada waktu yang ajaib, seperti saya. Yah sudahlah, toh cuma buat tidur malem aja. Setelah mandi berdua dengan Nona Reia, dalam hitungan menit, kami sudah sibuk dengan mimpi masing-masing.

Good night, Jogja.

Rabu, 6 Juli 2011- Day 2 Tour de Candi
Entah kenapa, walaupun capek banget, saya bisa terbangun pukul 6 pagi. Mungkin karena sudah 2 hari  berturut-turut dipaksa beraktfitas pada pukul tersebut, alarm (iya, beker deh) tubuh saya dengan sendirinya berbunyi. Ngga mau rugi, Reia pun saya gangguin sampai dia membuka mata, minum susu, cuci muka dan sikat gigi. Hasilnya, jam 7 pagi, kami udah duduk manis sarapan di ruang makan hotel. Lucunya, Reia yang tidak terbiasa makan berat di pagi hari, bisa menghabiskan semangkuk bubur ayam + selembar roti panggang dengan selai stoberi. *prok prok prok*

Jam 9 pagi, setelah mandi (ya ya ya, saya harus mandi demi memberikan contoh kepada Reia) dan beres-beres, kami sudah berada di mobil Xenia sewaan dari Jogja Star yang jauh lebih murah. Yaitu 325 ribu / 12 jam (termasuk bensin dan supir). Hari ini, sesuai dengan temanya, kami akan mengunjungi Candi-candi. Yeay! Dream come true.

Menghabiskan waktu perjalanan kurang lebih 30 menit, kami tiba di Candi Cantik. Prambanan, maksudnya. tapi saya tidak tahan untuk menamainya begitu. Karena benar-benar cantik. Untuk tiket masuk, kami membayar 20 ribu/org dewasa dan 10/anak. Sebagai Candi Hindu terbesar se-Asia, kemegahan dan keanggunan candi yang menyimpan legenda Lara Djonggrang ini memang membuat saya sungguh terpana. Tidak habis-habisnya saya mengagumi detail relief, kekokohan bangunan, dan keterampilan si pembuat candi ini.

Here's some pics for you :












see, I told you it is verrrrryyyyy beautiful...
Reia sebenernya kecewa karena ngga bisa masuk ke candi utama yang ada Lara Djonggrang-nya. 

 So I had to cheer her up.


Dengan mengijinkannya untuk :

 Membeli patung candi

 dan naik kuda. Dua kali. Seperti biasa. *sigh*

Setelah puas naik kuda, bukan melihat candi :'( lalu kami pulang dan menuju tempat makan siang yang sudah lama menjadi impian. "JeJamuran" yeeeeey!

Waktu tempuh yang sekitar 40 menit dari Candi Prambanan menuju daerah Sleman, tempat di mana Restoran Jejamuran berada, terasa lamaaaaa sekali. Sebab saya benar-benar sudah tidak sabar ingin menatap daftar menu yang konon bahan dasar makanannya terbuat dari jamur semua (yaeyala) dan juga kelaparan.

Sesampainya di sana, sekitar hampir jam setengah dua siang, restoran itu sangat ramai dan hampir saja kami tidak kebagian tempat duduk. 
Akhirnya kami menempati salah satu meja agak di depan, di sebelah band akustik yang sedang memainkan lagu-lagu Indonesia tahun 90-an. Lalu dengan kalap, kami memesan sate jamur, rendang jamur, penyet jamur, dan jamur tumis cabe hijau. Sebenarnya saya masih ingin menambah Tom Yum Jamur. Tapi, malu. :') Sambil menunggu pesanan datang, saya melihat-lihat jenis-jenis jamur dan baglog yang sudah siap tumbuh yang dijual. Setelah teramat kenyang karena meludeskan semua makanan, dan (lagi) ditemani iringan lagu "Yogyakarta" dari KLa Project, saya masih sempat membeli keripik jamur kuping untuk cemilan di mobil. Sayangnya, saya tidak sempat merekam gambar, sebab kamera tertinggal di mobil dan saya memilih untuk menikmati hidangan dari pada harus mengambilnya. Hehehe.

Kami meneruskan perjalanan menuju Candi Borobudur sambil rebutan  makan kripik jamur dengan Reia. Kami melintasi daerah yang terkena lahar dingin Gunung Merapi beberapa waktu yang lalu. Pak supir sewaan kami bercerita panjang lebar mengenai kejadian tersebut. Ternyata beliau ikut menjadi relawan di sana. Sempat juga bercerita mengenai Mbah Maridjan yang sederhana dan ramah bila ditegur. Cerita yang dituturkan pak supir sungguh menghanyutkan dan membuat saya ingin mengunjungi lokasi. Sayangnya, kami tidak mempunyai cukup waktu untuk ke sana. Sehingga, harus cukup puas dengan mendengarkan ceritanya saja. Next time, darling Merapi. I will be back.

Tiba di lokasi Candi Borobudur, saya agak sedikit blank. Saya sudah pernah mengunjungi candi ini tapi entah mengapa, saya seperti sama sekali tidak mengenali semuanya. Setelah saya ingat-ingat, ya ampuuuun... it was 20 years ago. Now, everything is totally different. Beyond my imagination. Dulu saya masih kelas 2 SMA. Siapa yang sangka, ke sana lagi sudah bersama anak saya yang berumur hampir 7 tahun.

Sama seperti di lokasi Candi Prambanan, kami kembali membayar tiket masuk 20 ribu/orang dewasa dan 10 ribu/ anak. Karena ngga mau capek dan Reia ngotot pingin naik kereta yang ada, maka jadilah kami, dengan membayar 5 ribu/orang (plus dapat 1 botol air mineral), menaiki kereta mini tersebut untuk berkeliling candi dan mengantarkan hingga ke depan candi.
-Tahukah anda, bahwa di sana selain terdapat penyewaan sepeda dan kuda (lagi), ada pula penyewaan gajah untuk dikendarai? Ya ngga apa-apa sih. Cuma saya ngga tega lihat gajah ditempatkan di kandang yang sempit. Gajah juga bukan untuk dijadikan tunggangan seperti itu, kan?-

Begitu sampai di depan pintu gerbang candi, kami diharuskan mengenakan kain batik yang disewakan dengan cuma-cuma. Dengan tujuan menghormati Candi Borobudur. Saya ngga mengerti hubungannya, namun seperti biasa, saya malas untuk bertanya lebih lanjut.Karena, keren juga sih pakai kain begitu.Tapi, tetep aja lebih keren candinya. 















Helo, Candi Buddha terbesar di dunia. Kita bertemu lagi

Capek juga naik langsung hingga ke tingkat ke-7. Napas saya langsung pendek-pendek. Nona Reia? Dia baik-baik saja. Malahan dia yang memimpin kami di depan. -__- Lagi-lagi Reia kecewa, karena tingkat 8 - 10 ditutup sedang dibersihkan akibat debu dari Gunung Merapi. Itu artinya, dia tidak dapat merogoh salah satu candi yang di dalamnya terdapat patung Buddha, untuk kemudian mengucapkan permohonan. Saya berusaha menghiburnya, "Ya udah, nanti berdoa aja ke Tuhan" Dia tambah ngambek dan menjawab, "Kalo itu, Reia juga tau" Saya jadi ikutan sebel, karena dia ngambek melulu.

Begitu turun dari candi, Reia langsung menagih janji saya untuk naik sepeda. Jadilah kami berkeliling candi menggunakan sepeda yang kami sewa cukup murah, yaitu 10 ribu/jam. Reia sempet jatuh dari boncengan sepeda, tapi dia sepertinya tidak merasa apa-apa. Rasa sakitnya sudah dikalahkan oleh kesenangannya naik sepeda sewaan.

Jam 5 sore, tepat pada waktu ditutupnya kunjungan ke candi, kami pulang. Sebelum kembali ke hotel, kami yang cukup kelaparan karena lelah menaiki candi dan bersepeda hampir 1 jam, mencari makan malam. Dan diputuskan untuk mencoba makan gudeg lagi di Gudeg Ahmad (saya lupa nama daerahnya). Ngga seenak yang sebelumnya. Tapi yah bolehlah. Seperti biasa, saya memesan menu yang sama, nasi gudeg dan tahu serta es teh tawar untuk membasahi kerongkongan. Kali ini pesanan saya diberi harga 8.000 saja. Reia tidak ikut makan, karena kurang suka dengan gudeg. Lalu kami menuju Ambarukmo Plaza, menemani Reia makan KFC *sigh* sementara saya menemukan jajanan kopi saya : Double Tall Soy Latte for kids (yang butuh penjelasan, for kids adalah istilah untuk minuman yang dibuat tidak terlalu panas, supaya bisa langsung diminum) Uhuy! 

Sesampai di kamar hotel, sebelum mandi, saya dan Reia bercengkrama sebentar. Saya tiba-tiba gemes banget sama si cerewet yang gigi depannya baru numbuh seperempat. Jadi saya puas-puasin mengacak-acak dirinya selama 1 jam, lalu kami mandi. Sama seperti malam kemarin, kami hanya bertahan kurang dari lima menit untuk terjaga setelah masuk ke dalam selimut.

Selamat tidur, Jogjaku

*) Sengaja saya menuliskan sesuai dengan pengucapan pada umumnya.
All pics was taken (except the first 3 pics on the beach) by me. Ha!