Selasa, 12 Juli 2011

Put the Rainbow Flag in the Sky


Gara-gara pertemuan kemarin dengan teman-teman lama yang membahas tentang LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual  and Transgender), saya jadi teringat waktu beberapa teman mengaku akan perbedaan orientasi seksualnya.

Pertama kali mendengar pengakuan seorang sahabat bahwa dia adalah seorang lesbian, terjadi sekitar 11 tahun yang lalu. Saya sebetulnya sudah menebak itu. Hanya saya menunggu sampai dia yang mengungkapkannya pada saya. Bukan apa-apa, saya ngga bisa menyusun kalimat yang baik untuk menanyakan padanya.
Suatu sore  di sebuah mall, kami sedang berjalan bersisian. Tiba-tiba sahabat saya itu berbisik,  
Nin, gue mau bilang. I’m a lesbian
Saya agak kaget. Bukan karena isi kalimatnya. Tapi suasananya itu loh. Emang ga bisa ya kalo nanti aja pas kita lagi ngopi, atau tadi waktu saya jemput di kontrakannya sebelum ke sini? Tapi dengan cuek saya jawab,
Gue dah tau kok”. Gantian dia yang kaget.
Tau dari mana?” , tanyanya. Saya dorong kepalanya pelan. Dengan meniru gaya ABG tapi gagal, saya membalas,
Oh, peliiiiisssss
Lalu kami tertawa bersama. Setelah itu mengalirlah dari mulutnya semua cerita yang sudah lama ditahannya kepada saya -nah yang ini baru deh- di sebuah warung kopi seberang kontrakannya.

Sejak saya dikenalkan dengan komunitas lesbiannya, entah mengapa, gaydar saya menajam dengan pesat. Saya mampu membedakan mana yang butch, mana yang femme, bahkan sebelum teman saya itu mengetahuinya.
Dua orang teman gay  saya malah come out pertama kali dengan saya. Yah, they were still virgin at that time ;)

Bertahun-tahun sebelum sahabat saya mengakui tentang kesukaannya pada sesama jenis, saya memang sudah sering merenungkan mengenai hal tersebut.
Sewaktu saya kuliah, saya pernah mengungkapkan kepada sahabat saya yang lain mengenai  hubungan pertemanan kami,
Hey, mungkin kalau elo laki-laki, kita udah pacaran ya
Dia tertawa. Maksud saya padahal, kalau pacaran sesama jenis tidak tabu, kita sudah pacaran dari, entah kapan. Tapi saya malas menjelaskan lebih rinci. Nanti malah membuatnya takut.

Tapi hal tersebut tidak pernah hilang dalam pikiran saya. Bukan soal teman saya itu, melainkan lebih kepada konsep hubungan sesama jenis.
Saya cuma bertanya-tanya,  bagaimana kita mampu menolak tumbuhnya rasa cinta? Bukankah kebiasaan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari akan mampu menumbuhkan rasa memiliki, rasa sayang, atau rasa cinta itu?
Saya juga percaya, bahwa ketertarikan seksual itu bisa diawali karena cinta yang tumbuh diantaranya. Buktinya, saya suka heran, kok bisa saya membayangkan berciuman dengan kakak kelas yang  sangat saya cintai, padahal secara fisik ngga bisa dibilang ganteng?

Saya seorang hetero. Yang menyukai lain jenis. Yang tertarik secara fisik pada laki-laki.
Namun, saya sungguh memahami orang yang memiliki orientasi seksual berbeda dengan saya.
Jauh sebelum seseorang mengakui perbedaan pilihannya terhadap ketertarikan fisik sesama jenis kepada saya.
Karena saya percaya, cinta itu adalah anugrah, apa pun bentuknya.
Saya percaya, kebahagiaan dan kenyamanan diri itu adalah hak asasi manusia.
Siapa kita yang berani menghakimi apa yang membuat orang lain bahagia?

Seorang teman bertanya dengan nada mengejek,
Bagaimana kalau suatu hari, anak lo bilang kalo dia lesbian?
Saya jawab,
Pasti berat
Teman saya itu tertawa. Lalu saya melanjutkan,
Karena gue ga akan tega melihat anak gue dihujat banyak orang. Tapi lebih ga rela lagi kalo ngeliat anak gue harus membohongi dirinya sendiri . Gue mungkin akan bilang hal yang membesarkan hatinya, seperti –kasih sayang seorang ibu pasti akan mampu menghapuskan sakit hati akibat dihujat oleh berjuta-juta orang di dunia- begitu. Jadi gue akan dukung dia

Teman saya tidak percaya. Saya bilang, terserah.
Dan kami mengalihkan pembicaraan dengan saling mengamati daftar menu makan siang.

Saya tidak akan memaksakan apa yang saya yakini kepada anda, dan saya harap anda juga begitu.

pinjem gambar : http://www.flickr.com/photos/23912576@N05/2942525739

Tidak ada komentar:

Posting Komentar