Selasa, 12 Juli 2011

Jogja* 7 - 8 Juli 2011 (part 2)

Kamis, 7 Juli 2011 Becak, Becak Coba Bawa Saya

Memasuki hari ke-3 di Jogja, kami merasa agak lebih santai. Karena, tidak seperti kemarin yang janjian dengan Pak Supir dan mobil sewaan, kami tidak punya janji dengan siapapun. Namun, seperti biasa, saya bangun pukul 6 lebih sedikit. Reia, yang masih pulas tidur saya bangunkan pelan-pelan. Untung dia ngga dalam keadaan bad mood jadi mau bangun dengan ceria.

Seperti juga pagi sebelumnya, kami duduk manis untuk sarapan jam 7.30 masih dengan menu yang sama. Reia dengan bubur ayamnya, saya dengan tumis kentang plus sayuran. Setelah menandaskan semuanya, saya dan Reia mencoba bernegosiasi dengan para bapak yang memiliki becak, yang memarkir persis di depan hotel. Mereka memang bekerja sama dengan hotel tempat kami menginap, sehingga sudah ada tarif yang sepertinya ditulis oleh pihak hotel dalam sebuah papan yang menggantung di pohon besar depan pintu masuk :
Malioboro Rp 20.000
Keraton Rp 15.000
Keliling Jogja Rp 40.000

Cukup murah, kan? Akhirnya, setelah ngobrol-ngobrol dengan mereka, maka kami akan menyewa dua buah becak, yang akan membawa kami berkeliling, termasuk ke Kota Gede. Saya kepingin melihat-lihat kerajinan perak.

Jam 10 pagi, tujuan pertama adalah Keraton. Sambil berdoa dalam hati, semoga Reia tidak bosan, kami menyusuri jalan yang sangat ramai. 8 tahun yang lalu, terakhir kali saya ke ke kota ini, jalanan lebih dikuasai oleh becak. Kini motor dan mobil-lah yang menjadi raja.
Omong-omong, kami sempat melewati warung kecil dipinggir jalan yang cukup tertutup rapat (namun tulisan di depan pintu adalah "Buka") dengan papan kecil yang bertuliskan 'Tongseng Jamu'. Saya jadi teringat penjelasan yang diberikan oleh pak supir kemarin, bahwa itu adalah istilah umum yang digunakan untuk menyebut masakan dengan bumbu tongseng yang isinya daging anjing. Disebut jamu, karena konon rasa daging hewan yang malang tersebut sangat panas dan dapat menghangatkan tubuh seperti layaknya jamu. EUGH!

Tiba di keraton, nampaknya masih belum terlalu ramai pengunjung. Harga tiket masuk adalah Rp 5.000/org tanpa membedakan dewasa atau anak-anak. Ditambah seribu rupiah, sebab saya mau merekam gambar yang ada. Kali ini saya sedikit memaksa untuk menggunakan guide. Apa gunanya ke kraton tanpa mendapatkan penjelasan apa pun? Akhirnya, dengan ditemani oleh seorang bapak yang hampir sepuh yang menggunakan pakaian adat jawa, dan agak sedikit hemat dalam berkata-kata, dimulailah tur tersebut.


 Setiap hari kamis pukul 11.00 ada pertunjukan gamelan, namun tidak selalu dimainkan oleh anggota kraton

 Pohon besar di pintu gerbang Kraton

 Saya sangat mengagumi logo HB

 Menemani simbah yang sedang "Ngisis Wayang"
Pendopo depan pintu masuk yang digunakan untuk main musik dalam menyambut tamu pada suatu upacara

 Detil bunga di pendopo


Pukul 12.30, tur sudah selesai. Saya pun memberikan sedikit tips untuk si bapak. Kelamaan, menurut Reia. Kurang lama, bantah saya. Sebab, ternyata setelah dipancing sedikit,  si bapak mulai royal menjelaskan secara detil setiap pertanyaan yang saya lontarkan dengan bertubi-tubi. Saya pun menjadi kagum terhadap sepak terjang Sultan Hamengku Buwono IX setelah diceritakan oleh si bapak. Yang saya juga baru tahu, ternyata beliau tidak pernah menikah, namun memiliki 5 orang selir. Wauw. Pasti banyak laki-laki yang iri padanya. Apakah ada yang lebih menyenangkan bagi laki-laki dengan  memiliki 5 orang wanita cantik sekaligus tanpa ada ikatan pernikahan, dan tak ada satupun yang berani menghujat moralnya? ;)

Lalu kami mencari tempat untuk makan siang. Bapak penarik becak membawa kami ke daerah Wijilan untuk mencoba gudeg (ape loh?) di tempat milik H. Widodo. Entah lapar atau memang enak sekali, dengan menu yang itu-itu lagi, saya menandaskan dengan licin wadah yang terbuat dari anyaman bambu dan dilapisi daun pisang itu. Kali ini agak sedikit lebih mahal. Menu saya dihargai Rp 12.000. Bapak-bapak penarik becak pun kami beri amunisi yang enak tersebut.

Puas makan, kami melanjutkan perjalanan ke Kota Gede. Kemudian, becak saya berhenti di sebuah toko dengan nama "Borobudur". Toko itu cukup elit dan harga peraknya, yang paling murah adalah seharga 300 ribu rupiah untuk sebuah gelang. Karuan saja saya protes kepada si bapak. Karena merasa tidak enak hati, kami dibawa kembali ke sebuah toko di pinggir jalan, yang katanya juga menjual perak secara grosir. Ternyata di toko tersebut kebanyakan menjual batik dan pernak pernik khas Jogja. Saya menghela nafas. Namun, saya berhasil mendapatkan pembatas buku dengan bentuk wayang yang terbuat dari perak. Titipan salah seorang teman anggota GRI.

Kembali lagi saya minta diantarkan ke tempat pengrajin perak yang lain. Dan kembali lagi si bapak mengantarkan ke tempat yang jauh dari bayangan saya. Terhenyak sejenak, saya merasa pernah bertandang ke tempat itu. Yah, 20 tahun yang lalu, saya memang pernah ke sana. Membeli sebuah lukisan batik dengan ukuran paling kecil, seharga Rp10.000. Saya sedikit terhibur. Reia, yang memang senang sekali dengan batik, dengan antusias mengamati dari dekat tiga orang perempuan yang sedang membatik. Dia mulai banyak bertanya macam-macam, dan para ibu tersebut dengan sabar meladeni pertanyaan-pertanyaan yang cukup 'ajaib' bagi saya.





Setelah berkeliling melihat-lihat lukisan batik (harga  termurah 100 ribu rupiah!), saya segera memanggil Reia untuk kembali menaiki becak. Oh iya, Reia berhasil membujuk saya untuk merogoh kantong dan membelikan sebuah gaun batik cantik berwarna pink (he euh, teteup)

Dari sana saya kembali mewanti-wanti sang bapak, bahwa saya mau ke Pasar Beringharjo untuk membeli batik. Namun, sang bapak bersikeras mengantar kami ke tempat yang lain. Dan saya segera tersadar, bahwa mereka memiliki perjanjian dengan toko-toko tertentu. Setiap tamu yang dibawa dan membeli sesuatu dari toko tersebut, mereka akan mendapatkan komisi, yang entah berapa. Dulu, seorang bapak penarik becak pernah menceritakan hal tersebut kepada saya. Oleh sebab itu, saya pun menjadi maklum.

Hari sudah menjelang pukul 4 sore ketika kami tiba di pasar impian saya itu. Kami segera memborong beberapa batik yang cantik dan bisa didapatkan dengan harga miring. Sebagai gambaran, satu buah daster dengan motif pekalongan berwarna cerah, dijual hanya dengan 25 ribu rupiah saja. Kami semua berbelanja dengan kekalapan tingkat tinggi. Hanya dalam waktu 30 menit, kami berhasil memuaskan keinginan belanja batik. Lalu, kami berjalan sebentar menyusuri tepian jalan Malioboro yang penuh sesak dengan orang lalu lalang. Kemudian kami kembali menaiki becak untuk pulang.

Sepanjang jalan yang mengarah ke alun-alun dekat kantor pos, saya terkejut. Betapa penuh, ramai, dan tidak teratur sekali suasananya. Saya mendesah kecewa, Jogja yang saya kenal adalah kota yang tenang, damai, teratur, dan masih kental dengan kebudayaannya. Itulah yang membuat saya selalu ingin kembali. Namun, ternyata kini sudah berubah. Jogja pun tidak mau tertinggal dengan kemoderenan yang selalu berjalan dengan kecepatan tinggi.

Kali ini sampai di hotel masih puku 6 sore. Setelah membayar Rp 40.000 + 20.000/becak, kami leyeh-leyeh sebentar, kemudian memutuskan naik taksi untuk menuju tempat makan di dekat daerah Purawisata Yogyakarta.  Restoran Jimbaran, yang menghidangkan aneka makanan laut, memang memberikan nilai tersendiri. Kami memilih meja di pinggir sawah yang dikelilingi oleh temaram obor. Suara merdu rombongan penyanyi yang berkeliling dari meja ke meja, terkalahkan oleh paduan suara yang berasal dari para jangkrik. Lagi, mereka pun menyanyikan lagu "Yogyakarta" dari KLa Project. Saya dan Reia tertawa terbahak.

 Jimbaran, Reia dan Baju Batik Baru

Sepulang dari Jimbaran, kami minta diturunkan di Malioboro. Sebab Reia ingin sekali menumpang delman. Saya pun juga ingin membiasakan diri untuk menerima kenyataan dengan ramainya alun-alun dan kusutnya jalanan sekitar. Lagi-lagi Reia harus kecewa. Karena delman dilarang masuk ke jalan tempat di mana kami menginap. Akhirnya, pulanglah kami dengan menumpang becak lagi. Kali ini bagian atas penutuo becak dibuka, sehingga kami dapat menikmati angin malam yang menerpa wajah dan rambut kami. Sungguh, malam yang menyenangkan.

Tak terasa, ini adalah malam terakhir kami di Jogja. Ingin rasanya tidak tidur malam ini. Supaya bisa menikmati suasana Jogja lebih lama lagi.



Jumat, 8 Juli 2011 Waktunya kembali
Dengan malas, saya membuka mata dengan perlahan. Waktunya pulang. Saatnya kembali. Saya membereskan beberapa barang yang tercecer untuk dimasukkan ke dalam koper. Reia pun tampak tidak bersemangat. Setelah sarapan, kami memeriksa beberapa barang bawaan kami. Pukul 11 siang, kami check out dari hotel. Dengan menumpang taksi, kami menuju Bakpia 25 untuk mengambil pesanan sahabat-sahabat saya dan kemudian kembali menuju Gudeg Sagan untuk makan siang. Hahaha...

Ternyata, tempatnya masih tutup. Kemudian pak taksi berbaik hati menunjukkan kami ke tempat makan nasi pecel paling yang terkenal di Jogja. SGPC namanya. Singkatan dari Sego Pecel. Terletak tidak jauh dari UGM, tempat ini berdiri sejak tahun 1959, seperti yang tertulis di dinding depan rumah makan tersebut. Begitu sampai, saya langsung menyukai tempatnya. Mengingatkan pada dapur kuno oma saya di Sokaraja, Purwokerto. Dengan bangku kayu panjang, lantai dari batu gelap, kami menikmati nasi pecel yang sangat enak dan diiringi oleh akustikan yang, coba tebak apa lagu yang dibawakan? Tepat sekali. "Yogyakarta"-nya KLa Project. Ternyata, walaupun berhasil tidak makan gudeg, namun tetap saja tidak bisa menghindari sajian lagu tersebut. Saya dan Reia kembali terbahak.

Setibanya di Bandara Adi Sucipto pada pukul 13.00, kami melakukan check in dengan mulus (tanpa ada pemberitahuan dipindah pesawat) dan kemudian memilih duduk di sebuah kafe pojokan dengan pemandangan pesawat yang baru landing. Lalu, kami mulai berdoa. Iya, berharap tidak ada delay, atau dipindah pesawat, atau waktu terbang dibatalkan, atau entah alasan apa lagi yang harus membuat kami menunggu lebih lama.
Jadwal keberangkatan pesawat seharusnya pukul 14.00. Namun 20 menit sebelumnya tidak ada tanda-tanda pesawat kami tiba. Dengan cemas, kami kembali bertanya kepada petugas. Seperti yang sudah diperkirakan, jawaban dari petugas adalah : D E L A Y . Eits, ngga boleh marah. Tarik nafas panjang, pesan kopi lagi. Hyeuuuwwkkk...

Setelah mengantri untuk mendapatkan kompensasi dari keterlambatan yang berupa 1 buah roti isi selai kacang dan 1 gelas air mineral dari merek entah apa, kembali diumumkan bahwa pesawat akan diberangkatkan pukul 16.30 *menjerit* Kalau tau begini, saya masih bisa jalan-jalan dulu naik delman. Ugh!

Akhirnya sampai juga di Bandara Soekarno - Hatta, Cengkareng pada pukul 17.30 Keluar dari sana, matahari sudah menghilang. Dan kami pun kembali dihadapkan oleh kemacetan yang tiada tara.

Selamat tinggal, Jogja, Oase-ku yang baru.
Selamat datang, Jakarta, Panas-ku yang lama.


*)Sengaja saya menuliskan sesuai dengan pengucapan pada umumnya
All pics, again, was taken by me. Mwahaha.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar